Senin, 27 April 2009

“Budak Saha” Wina


MASIH tentang pencarian orang tua, Wina melantunkan album “Budak Saha” setelah sukses menggebrak blantika musik pop Sunda dengan lagu “Indung” (ciptaan Uko Hendarto). Wina adalah penyanyi pon Sunda yang terbilang remaja dalam usia, tetapi sudah matang dalam membawakan lagu pop Sunda. Suaranya merdu dan sangat nyunda, ditunjang lagi dengan wajahnya yang rupawan. Tidak diragukan lagi jika Wina merupakan penyanyi remaja yang sukses dalam meyakinkan masyarakat pecinta lagu pop Sunda.

Nama lengkapnya Wina Juliana (l. Bandung, 4 Juli 1992), putra pasangan Lilih Tarliah dan Ma’mun Husen. Sejak Wina masih duduk di bangku kelas 1 SDN Coblong 1 Bandung, ia sudah hobi menyanyi, dan sangat didukung oleh ibunya yang juga penyanyi pop Sunda. Wina pernah menjadi juara pasanggiri pupuh yang digelar di UPI Bandung, dengan dewan juri Tatang Benyamin Koswara (Ketua Yayasan Cangkurileung), Dian Héndraya (Penyiar Bandung TV), dan Ano Karsana (Dosen Jurusan Pensatrada, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Musik UPI Bandung).

Penyanyi remaja yang mengidolakan Détty Kurnia ini pernah mengeluarkan album duet bersama ibunya, yang berjudul “Dimana Bapa“.

Saya pernah berjumpa dua kali dengan Wina. Pertama, ketika saya masih bertugas di Radio Antassalam FM Bandung. Saat itu, saya punya banyak kesempatan untuk berbincang-bincang agak lama dengan Wina beserta ibunya. Wina seorang anak yang ramah, senang bergurau, dan tentunya enak diajak ngobrol. Tidak banyak para remaja seusia Wina yang memiliki kesadaran untuk mencintai kesenian sunda. Kebanyakan para remaja zaman sekarang lebih bangga menyanyikan lagu-lagu Barat, daripada melantunkan lagu yang menggunakan bahasa miliknya sendiri. Mereka merasa lebih modern jika menyanyikan lagu Barat, dan mengaggap kampungan pada lagu-lagu berbahasa daerah, seperti bahasa Sunda. Ciamis punya penyanyi pop Sunda Aci Jesica, Sukabumi punya Rita Tilla, dan Bandung punya Wina Juliana.

Kira-kira setahun kemudian, saya bertemu dengan Wina untuk kedua kalinya, tetapi saya benar-benar menyesalinya. Kenapa menyesal? Karena saat itu, saya baru bangun tidur, kesiangan, lalu berangkat ke kampus. Sebelumnya saya mengisi bahan bakar dulu di Pom Bensin. Ketika sedang mengisi bahan bakar, ada seorang gadis mungil menyapa saya. Ia pun sama sedang mengisi bahan bakal kendaraannya. Saya hanya tersenyum sambil mengangguk, dan segera meninggalkannya. Sepanjang jalan, sambil mengemudikan kendaraan, saya berpikir dengan keras, siapa gadis mungil itu? Saya benar-benar lupa. Bahkan setelah tiga hari, saya sudah bmelupakan gadis itu. Saya menganggap gadis itu kemungkinan salah melihat orang.

Selang seminggu, ketika saya sedang merapikan file poto di komputer, tiba-tiba mata saya tertuju pada poto seorang gadis mungil, yang berjumpa di Pom bensin Bumi Panyileukan, Jl. Soekarno-Hatta, Bandung. Astagaaa…! Saya benar-benar terkejut, itu kan poto… Wina Juliana. Jadi, gadis mungil di pom bensin itu… Wina. “Maafin A Dhipa, Win. Waktu itu A Dhipa masih lulungu, dan benar-benar lupa, sehingga saya tidak sempat balik menyapa, hanya tersenyum. Kalau saya tahu gadis itu Wina, tentu akan saya ajak mampir, minum téh manis dulu di Ranggon Panyileukan. Sekali lagi, punten nya… Wina, da Wina mah soléhah…”

Nih Ada lagu Terbaru Wina Judulnya "LALAKON CINTA"

"Pedah We Gratis"


Darso,

GAYANYA tak berubah. Baik penampilan maupun gaya bicaranya, cenderung apa adanya. Itulah Hendarso atau yang dikenal dengan nama panggung Darso. Di usianya yang telah memasuki 65 tahun, Darso masih energik serta penuh semangat.

Tidak hanya saat mentas, ketika nonton langsung pertandingan sepak bola pun ia tak sungkan gogorowokan. Hal itu terlihat saat dirinya hadir bersama ribuan bobotoh menyaksikan duel Persib kontra Persita Tangerang dalam lanjutan Liga Super Indonesia 2009 di Stadion Si Jalak Harupat, Kab. Bandung, Selasa (21/4) malam.

Darso yang ditemani beberapa rekannya terlihat gaul dengan kaus gombrang warna biru bertuliskan "Persib The Legend", celana jins serta kacamata hitam. Rambutnya pun tak berubah, masih kriwil ala Michael Jackson.

Begitu wasit meniup peluit tanda pertandingan usai, senyum Darso terus mengembang. Itu tak lepas dari kemenangan 4-2 Persib atas lawannya. Namun saat hendak turun dari tribun VIP untuk menyalami para pemain, Darso keburu diserbu puluhan fansnya yang ingin berfoto. Ia pun dengan sabar melayani para penggemarnya tersebut.

Tapi rupanya kesabaran pelantun "Kabogoh Jauh" itu ada batasnya. Darso mulai bereaksi, meski diselingi canda. "Iraha urang rek balik yeuh ari difoto wae mah. Geus puguh sasalaman jeung pamaen teu jadi, cik atuh rek balik wae mah tong dipegat," katanya disertai senyum.

Kehadiran Darso di stadion memang cukup menyedot perhatian bobotoh. Selain penampilannya yang nyentrik, penyanyi yang kondang dengan lagunya "Cucu Deui" ini termasuk yang jarang nonton langsung ke stadion. "Jujur we karek ayeuna lalajo Persib deui. Baheula mah mineng. Pedah weh ayeuna mah gratis da ari dititah mayar mah moal daek," candanya.

Di balik guyonan tersebut, rupanya keberadaan Darso di Jalak Harupat merupakan bagian dari promo album pop Sunda terbarunya, "Bobotoh Persib". "Nya urang perlu datang da laguna (Bobotoh Persib) diputer di dieu (Si Jalak Harupat)," katanya sambil terus berjalan memasuki lapangan untuk bertemu beberapa kerabatnya dari anggota kepolisian. (mza/"GM")**

HAJAT Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2008 telah lama usai. Akan tetapi, saat kampanye berlangsung, untuk pertama kalinya membawa musik pop Sunda kembali populer dan dijadikan alat kampanye bagi kandidat gubernur. Ketiga calon selalu menghadirkan penyanyi-penyanyi daerah untuk memeriahkan panggung kampanye. Apakah hal ini membawa angin segar bagi eksistensi musik pop Sunda di tanah Pasundan? Bagaimana tanggapan para musisi daerah mengenai hal ini?

Darso

Darso adalah salah seorang tokoh lagu-lagu Sunda. Ajang kampanye, bukan sekadar untuk mengais rezeki, tetapi lebih penting adalah sarana untuk mengukur sejauh mana masyarakat mampu menyerap buah karyanya dan meramal karya seperti apa yang harus diciptakan selanjutnya untuk merebut hati masyarakat.

"Soal uang nomor dua, keuntungan utama adalah menyebarkan musik Sunda dan meninjau masyarakat sukanya lagu apa, lirik Sunda seperti apa yang mereka sukai," kata Darso di Tasikmalaya, beberapa waktu lalu.

Kala itu selain ingin bermasyarakat dengan warga Jawa Barat, Darso menyanggupi tawaran salah seorang calon untuk berkeliling Jawa Barat karena ingin memperjuangkan kembali eksistensi musik Priangan. "Akan tetapi saya embung nyanyi lagu kampanye. Saya selalu membawakan lagu saya sendiri. Lagu Sunda untuk menyenangkan masyarakat," kata penyanyi hits pop Sunda "Lagu Sarboah", "Cucu Deui", dan "Maripi" ini.

Darso menilai, musik Sunda saat ini dalam kondisi goncang karena gempuran musik modern yang mengadopsi budaya Barat. "Butuh kreativitas dan kejelian membaca selera untuk merebut hati masyarakat," kata dia.

Variasi, menurut pemilik label Asep Darso Production ini, adalah salah satu cara untuk membuat musik Sunda kembali menjadi primadona di Jabar. Hal itu pula yang membuat dia setia menyelipkan unsur calung dalam rekaman setiap albumnya. "Musik Sunda bisa saja jadi raja di Jabar, tetapi harus ada variasi dan ikuti kemauan masyarakat. Jangan slow atau cengeng terus, harus ada penambahan aksesoris. Unsur kebudayaan asli Sunda tak boleh hilang. Jadikan sebagai aksesoris. Dan variasi jangan disamakan dengan merusak tetapi sebagai aksesoris karena zaman sudah lain," ucap Darso yang album "Kabogoh Jauh"-nya berhasil meraup angka 200.000 keping.

Resep lain yang diandalkannya untuk tetap bertahan dengan kesundaannya, adalah menuangkan kejadian sehari-hari ke dalam lirik dan nada yang mudah dicerna masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah yang jadi bidikannya. "Ajang kampanye harus dimanfaatkan untuk merebut pasar menengah ke bawah di tiap daerah. Lagu "Dadali Mantik", "Randa Geulis", "Panganten Anyar" bisa dicerna masyarakat dengan baik," kata Darso.

Dia juga sangat berharap dukungan pemerintah untuk menjaga kelestarian musik tradisional di setiap daerah, termasuk musik Sunda dengan membuat peraturan yang mengharuskan pemberian waktu untuk musik Sunda pada setiap perayaan.

"Biasanya kan pejabat atau perayaan masyarakat menyewa band atau dangdut. Cobalah pakai musik Sunda. Akan lebih baik kalau ada peraturan dari Disbudpar Jabar. Kalau tidak diatur susah. Tiap hajat kasih setengah atau satu jam untuk pencak atau musik Sunda. Kalau tak dikasih ruang bisa punah. Propaganda politik juga bagus buat penyebaran musik Sunda. Koordinator harus berpikir ke arah sana," ujar Darso mantap.

Rika Rafika

BAGI penyanyi pop Sunda Rika Rafika, perhelatan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat yang digelar beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya ia menerima berkah. Bagaimana tidak, ia menjadi salah satu penyanyi yang diajak untuk menghibur massa kampanye salah satu kandidat gubernur. Tentu saja Rika menyanyikan tembang pop Sunda andalannya.

Menurut perempuan kelahiran Bandung 17 Januari 1979 ini, ajang pilgub mengantarkan musik pop Sunda kembali populer. "Pandangan saya pribadi sih, menjadikan pop Sunda sebagai salah satu alat kampanye cukup efektif. Karena kampanye ini kan roadshow ke seluruh daerah-daerah Jawa Barat dan dihadiri masyarakat yang memang mengonsumsi lagu-lagu Sunda," ungkap Rika yang ditemui di salah satu cafe di Jln. Aceh, Bandung, baru-baru ini.

Rika senang saat berdendang di panggung, massa yang hadir turut larut dan ikut menyanyikan tembang-tembang yang dibawakannya. Tak jarang mereka langsung meminta lagu yang ingin didengarkan. Rika pun mengombinasikannya dengan lagu-lagu dangdut nasional. "Tak bisa dipungkiri, lagu dangdut kan lagu rakyat juga," ujar Rika yang baru saja merilis album ketiganya yang bertajuk "Rujak Cuka".

Rika yang juga menjadi presenter "Dalinding Asih" di Bandung TV ini berpendapat mengenai eksistensi musik Sunda di tanah Parahyangan yang sedikit terpinggirkan. "Dulu, media massa yang menyiarkan musik Sunda tidak terlalu banyak. Artis-artisnya walaupun sedikit, tetapi berkualitas. Saat ini, media massa lokal kalah oleh media massa nasional. Selain itu, alat rekam sudah digital, jadi banyak penyanyi yang kurang berkualitas, asal keluar album saja," tutur ibu dari satu putra ini.

Kehadiran stasiun televisi lokal cukup membawa angin segar bagi musik daerah seperti pop Sunda. Mereka memiliki porsi untuk menayangkan program yang memutar lagu-lagu Sunda. Secara rutin mereka menayangkan video klip dan siaran interaktif dengan pemirsanya.

"Saya memiliki misi untuk membawa musik pop Sunda ke kancah nasional. Tidak dipandang sebelah mata dan tidak selalu dianggap musik murahan," ucap Rika dengan logat Sundanya yang kental. (Arif Budi Kristanto/Windy Eka Pramudya)***

Musik (Berbudaya Sunda) Pop Sunda

Ditulis Oleh Sukron Abdillah

KOMPAS — Musik pop Sunda merupakan representasi dari kreativitas musisi Sunda. Genre musik ini tidak bisa melepaskan diri dari jasa Koko Koswara (alm) yang lebih populer dengan julukan Mang Koko. Ia sempat membidani kelahiran beberapa musisi pop Sunda untuk meramaikan jagat musik Nusantara, di antaranya Nano S, yang menggubah pop Sunda dengan menggabungkan degung kawih dan instrumen musik Barat.

Beliau adalah salah satu pelopor awal musik pop Sunda, yang untuk konteks kekinian pamor musik ini kian meredup seiring dengan gegap gempitanya aliran musik yang lebih kontemporer dan muda. Memang betul musik pop Sunda tidak bisa dibandingkan dengan musik pop Barat dan nasional. Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri juga bahwa musik pop Sunda masih dicintai sebagian generasi Sunda, utamanya saya sendiri. Saya sekarang sedang menggandrungi lagu "Hayang Kawin" karena memang enak dan nikmat didengarkan.

Musik pop Sunda merupakan salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan dari dialektika musisi suku Sunda dengan pengalaman rakyat Sunda, kemudian dikemas secara estetik untuk menumbuhkan kembali kesadaran akan jati diri kesundaan.

Dengan semangat modernisasi, mereka tidak terpaku pada alat-alat musik Sunda semata, tetapi mengolaborasikannya dengan alat-alat musik Barat (diatonik) untuk melestarikan seni dan budaya sehingga melahirkan genre musik pop Sunda.

Secara historis, menurut Edwin Juriens (2006), kelahiran musik pop Sunda dibidani seniman Bandung Nada Kantjana pada tahun 1950-an. Mereka adalah pelopor pengombinasian lirik Sunda dengan instrumen-instrumen musik pop Barat di bawah pimpinan Muhammad Yassin. Setelah itu, tongkat estafet penciptaan musik pop Sunda diteruskan Djuhari dan Mang Koko. Sekarang, dengan perkembangan zaman yang terjadi, lahir musisi muda independen yang mengawinkan nada-nada Sunda dengan nada rock, pop, hip hop, rap, dan sebagainya.

Pelestarian warisan

Fenomena tersebut merupakan wujud dari keikutsertaan kreativitas budaya yang saling memberikan timbal balik. Musik pop Sunda, seiring dengan waktu yang semakin bergulir, pun tentu menemukan muara perubahan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah pelestarian budaya Sunda melalui berbagai instrumen musik. Lewat media musik setiap warisan Ki Sunda akan lebih tahan banting menangkal upaya pendegradasian jati diri masyarakat lokal.

Dalam musik pop Sunda, jati diri terlihat lebih terpelihara karena kesyahduan dan kesederhanaan struktur bahasa (baca: syair) yang disajikan. Akan tetapi, bagi anak muda seangkatan saya, misalnya, diperlukan kolaborasi musik Sunda agar terkesan tidak ketinggalan zaman, misalnya kolaborasi instrumen musik khas Sunda dengan instrumen musik rock yang dilakukan anak-anak band. Ini tidak boleh dilarang karena yang terpenting adalah ada kemauan dari kalangan muda untuk melestarikan budaya Sunda dengan membuat lirik berbahasa Sunda.

Mungkin saja saya serta jajaka dan mojang Sunda lain akan lebih menjiwai alunan lagu Barat meskipun tidak kaharti karena ingin terlihat "gaul". Maka dari itu, lahirnya aliran musik pop atau rock Sunda di belantika kesenian musik merupakan gerbang awal untuk melestarikan bahasa, identitas, filsafat hidup, dan produk budaya warisan Ki Sunda lainnya. Kita semestinya mampu menggunakan media kontemporer untuk kepentingan pelestarian khazanah kesundaan yang eksistensinya kini kian mengerucut pada satu jurang, bukan kepunahan tetapi tepatnya ditinggalkan.

Budaya rakyat

Dalam perspektif studi kebudayaan, pengertian pop culture, salah satunya musik pop Sunda, adalah produk kebudayaan yang berasal dari rakyat, diterapkan dari rakyat, dan merupakan budaya otentik rakyat (John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop, 2004). Ini bisa dibuktikan dengan aransemen ulang nyanyian rakyat Sunda, seperti "Cingcangkeuling" dan "Ayang-ayang Gung", pada tahun pertama kemunculan aliran musik pop Sunda. Inovasi kebudayaan ini juga mengindikasikan bahwa pop Sunda berasal dari pengalaman masyarakat Sunda sehingga menghadirkan kesamaan rasa antara pencipta, penyanyi, dan pendengar.

Lagu "Neng Geulis", "Bubuy Bulan", "Es Lilin", "Ayang-ayang Gung", dan masih banyak lagi yang lain adalah gambaran riil pengalaman hidup para pencipta, penyanyi, serta penikmat musik pop Sunda. Tidak mengherankan, kendati lagu pop Sunda telah berusia kepala lima, pendengar seakan menikmati terus-menerus hingga terhanyut pada pengalaman masa lampau yang tersusun menjadi syair sederhana dalam sebuah lagu pop.

Tidak percaya? Mari kita sejenak merenungi lirik Neng geulis/Pujaan akang/Neng geulis/Akang hoyong tepang/Upami teu aya pamengan. Apakah dengan lirik tersebut kita merasakan pengalaman yang sama ketika berhadapan dengan wanita yang disukai? Orang tua sekarang, pada masa muda dulu, saya kira pernah seseredetan hate dan kacida bungahna tatkala cintanya kepada wanoja yang menjadi istri sekarang diterima.

Lirik lagu "Neng Geulis" itu sederhana, tetapi mengindikasikan kesamaan pengalaman antara pencipta lagu, penyanyi, dan pendengar sehingga mereka hanyut dalam suasana psikologis yang terasa sama. Ketika mengikuti alunan suara penyanyinya, suara sumbang terasa berdendang, bahkan aliran nada yang berhamburan dari bibir terasa tersusun rapi merapatkan barisan laiknya tangga nada. Dalam bahasa masyarakat kontemporer, lebih tepat jika dikatakan musik pop Sunda memiliki pengaruh adiktif kendati masih dapat kita perdebatkan.

Jadi, tidak salah jika kita harus betul-betul mengapresiasi genre musik pop Sunda modern untuk sekadar dijadikan media pemelihara seni dan budaya asli warisan Ki Sunda, baik dalam bentuk bahasa, falsafah hidup, identitas, maupun produk budaya lain. Ini untuk meredam "gelombang pasang" kemajuan zaman yang kian menggerus masyarakat Sunda pada sikap tidak berbudaya dan dislokalisasi kesadaran. Wallahualam. SUKRON ABDILAH Pegiat Studi Agama dan Kebudayaan Sunda

;;